Minggu, 18 April 2010

Cerita bagi anakku

Kisah tentang keperbedaan selalu indah untuk disimak. Warna kulitku, mataku, rambutku, kebiasaanku dan semua tentang aku tidak pernah sama dengan siapapun di dunia ini. Aku berbeda denganmu. Disitu letak kekuatan dan kerja keras untuk memahami orang lain.

Aku teringat cerita masa kecil anakku. Ketika anakku, putera semata wayangku masih belum dapat membaca aku seringkali menceritakan padanya kisah-kisah yang kuanggap mempunyai sisi baik yang perlu dicontoh. Ada banyak cerita dari berbagai buku yang kuceritakan menjelang tidur. Dengan mata berbinar-binarnya dia selalu mendengar dengan penuh semangat. Bagiku, itu adalah saat-saat indah, menit dan jam yang tak terlupakan bagiku, kuharap juga baginya. Aku hanya berusaha menanam sesuatu yang mungkin kelak 20 atau 30 tahun kemudian baru terlihat hasilnya. Yang penting aku menanamkan sesuatu yang kuanggap perlu dalam mengarungi hidup bersama penduduk bumi lainnya.

Kisah indah dari negeri Bibelbin dan Bibelbu. Dua negeri yang dipisahkan oleh tembok tinggi dengan maksud agar kedua negeri ini tidak pernah saling berkenalan namun saling menjelekkan. "Hati-hati terhadap Bibelbu. Kata orang mereka tak berbulu dan telinganya berwarna hijau", kata penduduk Bibelbin. Dan, "larilah bila muncul Bibelbin, kata orang kakinya berbulu dan telinganya biru", demikian seru Bibelbu.

Musim dan tahun silih berganti dan rasa takut dikedua negeri semakin bertumbuh.Tembok tinggi dan lebar itu akan tetap berdiri kokoh di sana jika saja tidak ada seorang bocah Bibelbu yang bermain bola di sisi tembok itu. Si bocah Bibelbu membanting-banting bolanya dan melemparkannya ke udara lalu bola itu jatuh ke sisi tembok sebelah. Secara kebetulan seorang bocah Bibelbin yang sedang berpangku tangan melihat bola yang melayang dari sisi tembok sebelah menuju ke arahnya. Lalu dipungutnya bola itu lalu dilemparkannya kembali ke sebelah. Si bocah Bibelbu menangkap bola itu lalu melemparkannya kembali. Dan si bocah Bibelbun melemparkan bola itu ke tembok sebelah. Begitu terus mereka saling melempar bola. Ketika harus berpisah mereka sedih.

Keesokan harinya si bocah Bibelbin dan Bibelbu membawa seorang teman dan kembali mereka saling melempar bola. Keesokannya, teman yang dibawa bukan satu tetapi dua, dan mereka saling melempar bola lagi. Mereka bermain dengan senang. Dan berjanji akan datang lagi. Keesokan harinya teman dari kedua pihak bertambah menjadi 8 orang, dan mereka bermain dengan riang. Esoknya malah seluruh anak Bibelbin dan Bibelbu bermain di kedua sisi tembok itu sehingga ramailah kedua sisi tembok itu dengan teriakan dan tawa dan ada banyak bola yang melayang di udara.

Penduduk desa berteriak "ada apa ini, mengapa kalian bermain dengan mereka yang harus dibenci dan ditakuti?". Bocah-bocah itu menjawab, "mereka tertawa kami juga, apa bedanya telinga hijau dan tubuh yang tidak berbulu", jawab bocah Bibelbin ceria. "Mirip kita juga anak Bibelbin itu, biar saja kaki mereka berbulu atau telinga mereka biru", kata bocah Bibelbu.

Akhirnya, "robohkan temboknya, robohkan temboknya", terdengar teriakan dari Bibelbin dan Bibelbu. Mereka semua bergotong royong merubuhkan tembok yang selama ini membatasi mereka. Tembok itu kini tidak terlihat lagi bekasnya, tempat itu sekarang ditumbuhi bunga. Dan kini Bibelbin dan Bibelbu bahkan hidup lebih berbahagia.

Di akhir cerita, biasanya anakku belum tertidur dan dia memandangiku dengan senyum karena ceritanya berakhir dengan happy end. Aku senang mengelus rambutnya yang ikal. Diam-diam aku berdoa dalam hati, semoga kelak ia akan ingat cerita yang satu ini setidaknya mengambil hikmahnya bahwa berbeda itu indah. Ketika kelak dia bertemu dengan banyak sekali orang yang berbeda dengannya baik suku, bangsa dan agama dia tetap dapat berteman dengan nyaman.

"Yuk, kita berdoa, nak", dan diapun melafalkan apa yang kuucapkan sebagai doa di sisi tempat tidurnya. Selamat malam anakku.....

Sabtu, 10 April 2010

Tanaman dan pernikahan

Sore ini, aku mempunyai cukup banyak waktu untuk berada di halaman. Tidak setiap waktu aku dapat menikmati halamanku. Berkeliling, menengok ke depan, samping dan belakang membuat aku bersemangat. Membuatku berpikir dan banyak ide bermunculan di kepalaku. Kembang sepatu yang ingin kutambah koleksinya, injakan kaki yang bentuknya segi empat lebih cocok dibanding yang bulat seperti sekarang, daun mint yang bagus jika ditanam dalam wadah untuk saluran air, rumput halus yang ditanam dalam pot-pot kecil untuk ditampilkan di atas meja sebagai pusat perhatian. Dan aku terus berkeliling. Memperhatikan gardena yang kali ini agak banyak bunganya, bunga sepatu merah cerah menyala yang juga agak banyak bunganya, bunga bawang2an yang sudah harus dipangkas, melati yang perlu diperbanyak, soka harus dipangkas agar bentuknya kembali bulat dan caisim yang sudah waktunya dipindahkan ke bedeng.

Aku berjalan ke samping dimana bedeng-bedeng yang tak seberapa banyak itu telah dipersiapkan. Tanah halaman yang pernah ditimbuni dengan puing-puing bekas bangunan ini telah diolah dan dipersiapkan untuk ditanami sayur. Sebenarnya ini ide yang agak nekad. Hanya dengan semangat aku tetap berkeyakinan halaman ini dapat ditanami dengan sayur seperti caisim, pokcay, selada, daun bawang, kangkung, bayam dan apa saja yang mungkin. Kedengarannya mengada-ada, menanam sayuran di halaman yang tak seberapa luas. Mencoba tidak pernah ada salahnya.

Si Emang tukang kebunku yang sabar dan dari awal mendukungku adalah orang yang banyak mengajariku. Dalam bahasa Indonesia dengan dialek Sundanya yang kental ditambah dengan banyaknya ia menggunakan kata-kata yang kadang tak kupahami aku menimba pengetahuan darinya. Herannya kami bisa berbicara sampai berjam-jam.

Masih ada beberapa bedeng yang kosong dan siap untuk ditanami dengan caisim yang sudah disemai. Kulihat si Emang sedang memindahkan satu persatu caisim itu ke tanah. Dengan telunjuknya dia membuat lubang di tanah kemudian memegang batang caisim dan dimasukkan dalam lubang yang telah dibuatnya kemudian menutupnya kembali. Begitu terus sampai semua bedeng yang masih kosong itu terisi. Kemudian dengan tenang dia berjalan mengambil selang dan mulai menyiram caisim yang sudah ditanam sejak kemarin.
Aku mengikutinya terus sembari mengobrol. Dan sembari menyiram dia berujar "minum yang banyak biar cepat besar". Bukan sekali saja dia berujar begitu, berkali-kali sembari terus menyiram. Aku tersenyum. Melihat aku tersenyum lalu dia berkata, "kan ini mahluk hidup, jadi harus dicukupkan makanan dan minumnya baru dia bisa tumbuh subur". Aku kembali tersenyum dan menganggukkan kepalaku. Kulihat kepuasan di wajahnya ketika semuanya telah tersiram.

Aku masuk rumah sembari memikirkan perkataan Emang tadi. Sesuatu terlintas di kepalaku. Tanaman dan pernikahan....sesuatu yang harus diperlihara, dirawat, diberi makan dan minum. Pernikahan juga seperti itu. Jika ingin langgeng selayaknya rajin dirawat. Sore ini aku mendapat pelajaran hidup dari seorang Emang.

Hm.....secangkir teh mint dan sepotong verkade cinnamon pastilah enak sekali untuk dinikmati. Suatu sore yang indah.